Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

5/12/2009

Politik Pecah Belah ala SBY

Sadar atau tidak, kriteria cawapres yang akan mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuju pilpres 7 Juli mendatang merupakan “senjata ampuh” untuk memecah belah lawan-lawan politik SBY dan tentu saja Partai Demokrat. Apalagi deklarasi capres-cawapres Partai Demokrat yang sebelumnya dijadwalkan pada 10 Mei kemudian diundur menjadi 15 Mei menandakan siasat SBY untuk mengambangkan partai-partai yang serius ingin mendapat pinangan Partai Demokrat yang telah berhasil meraih 124 kursi (26 persen) kursi di DPR untuk menjadi pendamping SBY.
Berbagai partai politik besar ramai-ramai menggelar rapimnas pasca digelarnya pemilu legislatif (pileg) 9 April lalu hanya sekedar melegitimasi para kadernya untuk menyandingkan dengan SBY sebagai capres. Pihak SBY dan Partai Demokrat pun tidak menutup diri terhadap partai-partai politik untuk mengajukan calon pendamping SBY karena kepercayaan dirinya sedang tinggi-tingginya setelah sukses menjadi pemenang pemilu. Partai Demokrat yang belum berumur satu decade mampu menjadi pemenang pemilu mengalahkan Partai Golkar dan PDI-P yang relatif sudah berpengalaman sejak tiga decade sebelumnya.
Ditengah ramai-ramainya partai politik mengajukan kadernya sebagai pendamping SBY, isu lain berhembus bahwa cawapres SBY adalah seorang berlatar belakang professional. Beberapa figur professional yang banyak beredar di media adalah figur Budiono dan Sri Mulyani Indrawati. Budiono adalah seorang professional berlatar belakang akademisi dari Universitas Gajah Mada dan telah memiliki pengalaman dalam pemerintahan seperti pernah menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan, Menteri Koordinator Perekonomian dan sekarang menduduki jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Sedang figur Sri Mulyani Indrawati adalah sosok professional dan akademisi dari Universitas Indonesia, pernah menjadi Direktur IMF untuk wilayah Asia Tenggara dan sekarang sedang menjabat Menteri Koordinator Perekonomian merangkap sebagai Menteri Keuangan.

Faktor Survei
Perilaku SBY yang mengambangkan partai-partai pendukung koalisinya disebabkan kepercayaan dirinya yang sangat tinggi akan memenangkan pilpres Juli mendatang. Pada beberapa survey yang dilakukan oleh pelbagai lembaga survey seperti Lembaga Survei Indonesia, Lembaga Survei Nusantara, dan gabungan LP3ES-CSIS-Puskapol UI, semuanya menempatkan SBY sebagai calon presiden terpopuler dibanding para pesaingnya seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Jusuf Kalla.
Eklektibilitas SBY sebagai calon presiden dalam beberapa putaran survey membuat banyak partai-partai politik tetap merapat ke Partai Demokrat. Partai-partai politik koalisinya selama ini – kecuali Partai Golkar - ramai-ramai mempertahankan koalisinya dengan Partai Demokrat seperti PKS, PKB, dan PAN.
PKS merupakan partai politik paling setia dalam koalisi baru yang disebut Golden Bridge karena memiliki interest politik yang sangat besar yakni ingin menyandingkan SBY dengan Hidayat Nurwahid sebagai capres-cawapres. Karena itu ketika Partai Golkar ingin kembali berkoalisi dengan Partai Demokrat sesaat setelah Pileg digelar, PKS sempat meradang dan ingin keluar dari koalisi dengan Partai Demokrat. Jika Partai Golkar berkoalisi kembali dengan Partai Demokrat, pihak PKS merasa tidak akan mendapatkan tempat untuk figur Hidayat Nurwahid sebagai cawapres SBY.
PKB pun tetap merapatkan barisan ke dalam Koalisi dengan Partai Demokrat. Pada Rapimnas yang digelar pada Rabu (06/05) di Jakarta, PKB ikut pula mengusulkan kadernya sebagai cawapres SBY. PKB tetap mengandalkan figur Muhaimin Iskandar sebagai cawapres untuk mendampingi SBY karena Muhaimin-lah figur sentral PKB sekarang setelah berhasil menyingkirkan kubu Gus Dur dalam kepengurusan PKB. Meski Muhaimin Iskandar tidak memenuhi kritieria yang diinginkan SBY yakni “cawapres bukan ketua umum partai politik”, nampaknya tidak menyurutkan PKB untuk mengajukan kadernya mendampingi SBY.

Modus Pecah Belah
Cara dan modus memecah belah partai-partai politik ala SBY sangat halus dan nampak tidak banyak disadari oleh para elit parpol yang bersangkutan. SBY cukup mengeluarkan lima kriteria pendampingnya ke publik, diantaranya adalah cawapresnya bukan menjabat ketua umum partai politik. Kriteria ini saja sudah membuat tiga partai politik besar terpecah yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
PAN mengajukan Hatta Rajasa yang menduduki anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN sehingga diharapkan sesuai kriteria yang ditetapkan SBY sebagai pendampingnya. Pengajuan figur Hatta Rajasa sebagai pendamping SBY pada sebuah Rapat Pimpinan Nasional di Yogyakarta April lalu membuat Sutrisno Bachir menjadi tersingkir dari arena permainan politik Amien Rais yang menjadi otak dibalik pengajuan Hatta Rajasa sebagai cawapres SBY. Penetapan Hatta Rajasa sebagai cawapres PAN tidak dihadiri Ketua Umum dan Sekjen PAN. Bahkan efek dari Rapimnas Yogyakarta mengakibatkan Sutrisno Bachir berniat mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PAN. Dibawah Sutrisno Bachir, PAN relatif berhasil mempertahankan keberadaannya sebagai partai besar dengan perolehan 42 kursi di DPR (7,50 persen), meski mendapat pesaing baru dari Partai Matahari Bangsa, partai yang didirikan angkatan muda Muhammadiyah yang tidak puas terhadap PAN.
Pada pihak lain, Partai Golkar juga terpecah karena beberapa pengurus DPD Kabupaten/Kota mengajukan Akbar Tanjung sebagai pendamping SBY. Akbar Tanjung dinilai tepat sesuai kriteria yang diajukan SBY karena bukan lagi sebagai ketua umum partai. Sosok Akbar Tanjung juga banyak diharapkan oleh beberapa elit Partai Demokrat untuk menjadi cawapres SBY periode 2009-2014. Belakangan muncul pula nama Fadel Muhamaad sebagai figur yang dijagokan beberapa pengurus DPD Partai Golkar untuk mendampingi SBY, meski ditentang sendiri oleh DPD II Partai Golkar di Provinsi Gorontalo.
Namun dampak penetapan kriteria “cawapres bukan ketua umum partai politik” ala SBY menyebabkan kerenggangan hubungan SBY dengan JK sehingga memicu dilangsungkannya Rapat Pimpinan Nasional Khusus (Rapimnasus) Partai Golkar pada 23 April lalu untuk menetapkan JK untuk maju sebagai calon presiden dan berpisah dengan kawan koalisinya lima tahun terakhir, Partai Demokrat. Untuk membuktikan keseriusan JK sebagai capres Partai Golkar, tidak lama kemudian menggandeng Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto sebagai cawapresnya. Wiranto dianggap berhasil mendudukkan Partai Hanura yang merupakan partai baru dalam sepuluh partai politik besar dengan perolehan 15 kursi di DPR (2,26 persen). Duet JK-Wiranto kemudian disebarluaskan dengan tagline: JK-Win. Pasangan capres-cawapres inilah yang pertama mempublikasikan diri sebagai kontestan pilpres 7 Juli mendatang yang menandakan bahwa figur JK adalah seorang yang mampu bertindak cepat dan cerdas, karena bukan figur peragu meski perolehan suara Partai Golkar dibawah JK menurun yakni 108 kursi di DPR (19,29 persen) pada pileg 9 April lalu.
Partai politik lainnya yang mengalami perpecahan adalah PPP. PPP di bawah kepemimpinan Suryadarma Ali mengalami penurunan suara pada Pileg 2009 sehingga dilanda perpecahan yang menjurus pada seruan untuk diadakan Kongres Luar Biasa oleh sekelompok sayap organisasi pemuda PPP. Pada sebuah Rapimnas yang digelar di Bogor, Jawa Barat pada April lalu aspirasi elit PPP terbelah menjadi dua kubu. Kubu Bachtiar Chamsyah yang menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan dan sekarang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu sebagai Menteri Sosial menginginkan PPP tetap berkoalisi dengan Partai Demokrat untuk mendukung SBY sebagai capres. Namun sebagai elit pengurus PPP termasuk kubu Suryadarma Ali yang sama-sama duduk di Kabinet SBY sebagai Menteri Negara Koperasi dan UKM, sekarang ini memiliki aspirasi berbeda. Kubu Suryadarma Ali lebih condong kepada figur Prabowo Subianto untuk diusung sebagai Capres. Sementara Prabowo sendiri sampai tulisan ini dibuat belum mendapatkan kepastian dirinya sebagai capres atau cawapres.
Kini sasaran politik pecah belah adalah PDI-P yang sebelumnya memilih menjadi partai oposisi selama pemerintahan SBY lima tahun terakhir. PDI-P yang berhasil memperoleh 93 kursi di DPR (16,61 persen) itu mulai didekati Partai Demokrat melalui Hatta Rajasa yang melakukan kunjungan ke kediaman Megawati Soekarnoputri beberapa saat lalu. Hatta Rajasa sepertinya diutus oleh SBY untuk menjadi penghubung dengan target memecah belah kekuatan Koalisi Besar yang telah ditandatangani PDI-P, Partai Golkar, Partai Hanura, PPP dan Partai Gerindra termasuk beberapa partai kecil seperti PBR. Mampukah SBY terus memainkan politik pecah belahnya ditengah soliditas Koalisi Besar?

(Copyright @ Muslimin B. Putra. Artikel ini telah dikirim ke Harian SUARA KARYA, pada 10 Mei 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap Komentar yang sopan sesuai etika berkomunikasi