Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

4/18/2010

Skandal Redaksional UU Kesehatan 2009

Nampaknya perumusan kebijakan publik di Indonesia tidak pernah sepi dari intervensi kepentingan para pihak yang berkepentingan terhadap sektor atau isu tertentu. Terbukti UU Kesehatan yang baru disahkan pada 14 September 2009 lalu yang telah melalui tahapan pelibatan publik dalam memberikan masukan yang biasa disebut konsultasi publik dan telah bertahun-tahun di perdebatkan dalam sidang-sidang DPR, tak luput dari upaya penghilangan klausul tertentu.
Penghilangan salah satu pasal dalam UU Kesehatan 2009 pertama kali diumumkan oleh empat lembaga, yakni Tobacco Control Network, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi Perlindungan Anak (KPA). Keempat lembaga ini pula yang menjadi pioner mengadvokasi upaya penghilangan klausul tersebut ke ranah hukum untuk diusut tuntas sebagai tindak pidana.
Menurut pengakuan Hatta Rajasa (Kompas, 14/10/09), Setneg menemukan adanya ayat yang hilang saat melakukan pengecekan akhir sebagai prosedur rutin sebelum RUU disahkan menjadi UU. Dokumen RUU Kesehatan yang diantar dengan surat Ketua DPR kepada Presiden mengenai telah disetujuinya RUU itu untuk dijadikan UU diterima Setneg pada 28 September 2009. Pada dokumen yang dibundel dengan sampul berlogo DPR ini, Pasal 113 hanya memuat dua dari tiga ayat yang seharusnya ada seperti saat disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.
Pengakuan Hatta Rajasa tersebut terasa janggal karena tidak dari awal diungkapkan ke publik bahwa terjadi penghilangan atau dihilangkan salah satu ayat dalam UU Kesehatan 2009. Justru yang mempublikasikan terjadi penghilangan ayat adalah institusi yang berada diluar DPR dan Setneg. Bila pihak Setneg sudah mengetahui sejak awal, semestinya langsung bertindak aktif mencari tahu pangkal hilangnya ayat yang dimaksud dan berusaha untuk mengembalikannya sebelum ditemukan oleh institusi masyarakat.
Kisah penghilangan salah satu ayat pada Pasal 113 UU Kesehatan 2009 berkaitan dengan pengendalian tembakau yang mengandung nikotin yang membahayakan kesehatan masyarakat. Ayat yang berusaha dihilangkan adalah ayat 2 yang berbunyi: “"Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat....". Besar dugaan, pihak yang berkepentingan dengan klausul ayat seperti inilah pihak industri rokok. Sedang pihak di DPR yang bersikeras mempermasalahkan ayat tersebut adalah Fraksi PDI-P yang menganggap ayat tersebut merugikan petani tembakau dan buruh yang menjadi konstituen mereka. Ketika masih berstatus RUU Kesehatan dibahas oleh Panitia Khusus yang dipimpin oleh politisi dari PDI-P dan anggota Komisi IX, Ribka Tjiptaning.
Diluar parlemen, pihak yang berkepentingan dengan ayat-ayat pengendalian tembakau adalah industri rokok. Pada tahap pembahasan UU Kesehatan, pasal-pasal yang menyangkut tentang rokok banyak ditentang oleh pihak yang menjadi perpanjangan tangan industri rokok dalam parlemen. Penentangan keras dari indutri rokok tersebut menyebabkan satu RUU lainnya yang berhubungan langsung dengan rokok yakni RUU Pengendalian Tembakau gagal dibahas dan disahkan oleh anggota DPR periode 2004-2009.
Meski sudah beberapa kali kasus penghilangan ayat-ayat dalam UU seperti pengakuan Mensesneg Hatta Rajasa (Kompas,14/10/09) yang terjadi pada RUU Perkereta-apian dan RUU Tata Ruang, kasus penghilangan ayat dalam UU yang telah disahkan dalam sidang pleno DPR merupakan tindak pidana sehingga kasusnya harus diusut tuntas. Meski pengakuan pihak Sekretariat Jenderal DPR bahwa terdapat kelalaian dalam hilangnya ayat tersebut, seharusnya masyarakat sipil tetap membawanya ke ranah hukum untuk diselidiki lebih lanjut.
Tembakau merupakan zat adiktif yang harus dikendalikan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Tembakau yang tidak terkontrol sangat membahayakan kesehatan masyarakat karena dapat beredar secara luas dan massif sehingga diperlukan payung hukum. Ayat yang hilang itu bisa menjadi landasan pengendalian tembakau dan produk-produk tembakau.
Sasaran Pengusutan
Dari segi prosedural, pihak yang biasanya melakukan penyisiran kembali sebuah naskah RUU yang sudah final dibahas dan telah disetujui dalam rapat paripurna adalah sekretariat komisi atau panitia khusus (pansus) yang bersangkutan. Bertolak dari segi ini, secara teknis pengusutan bisa diawali pada pegawai dan/atau pejabat yang menangani naskah undang-undang yang terlibat pada dua institusi, mulai dari sekretariat Komisi/Pansus, Sekretariat Jenderal DPR hingga ke Sekretariat Negara. Pada dua instansi tersebut kemungkinan besar proses penghilangan terjadi karena secara prosedural, naskah RUU yang final dibahas dan disahkan melalui sidang paripurna DPR dikirim oleh staf Setjen DPR kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden dan dimasukkan ke dalam lembaran negara.
Pegawai dan/atau pejabat yang berupaya menghilangkan ayat dalam UU Kesehatan harus diberi sanksi yang setimpal karena perbuatan dapat digolongkan tindak pidana. Selain itu, tindakan seperti itu besar kemungkinan bukan kelalaian semata karena ayat 2 yang dihilangkan diganti oleh ayat 3 yang digeser menjadi ayat 2 sehingga nampak tidak ada perubahan. Perbuatan penghilangan baru diketahui setelah membandingkan bagian penjelasan UU yang masih berjumlah tiga ayat, dan nampaknya luput dihilangkan secara bersama-sama dengan isi yang berada didalam batang tubuh UU.
Bila hasil pengusutan terbukti sebagai perbuatan yang disengaja, perbuatan penghilangan ayat dalam UU merupakan bentuk contempt of parliament (Penghinaan terhadap Parlemen) dan kepada mereka yang terlibat harus dikenakan hukuman penjara. Namun bila hasil pengusutan sebaliknya, hanya sekedar kelalaian tetap harus diberi sanksi administratif karena kelalaian semacam ini dapat berakibat fatal terhadap sebuah kebijakan nasional strategis yang berdampak luas pada masyarakat.
Contempt of Parliament
Meski akhirnya ayat yang hilang tersebut sudah dikembalikan tidak berarti tindakan hukum akan berhenti. Polisi dituntut untuk aktif melakukan pengusutan karena perbuatan tersebut adalah tindakan penghinaan terhadap parlemen dan memiliki implikasi luas terhadap keberadaan naskah-naskah RUU dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) yang akan menjadi kebijakan publik di DPR. Bila kasus penghilangan ini didiamkan dan pihak-pihak yang terlibat tidak terkena sanksi atas perbuatannya baik sengaja maupun tidan disengaja maka konsekwensinya rakyat akan antipati terhadap DPR yang berfungsi sebagai lembaga pembuat UU (fungsi legislasi) karena rawan diselewengkan diluar persidangan. Apalagi DPR periode 2009-2014 yang diketuai Marzuki Alie (Partai Demokrat) baru saja dilantik dan membutuhkan kepercayaan dari rakyat dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
DPR dalam menjalankan ketiga fungsinya yakni fungsi legislasi (membuat UU), fungsi kontrol (mengawasi kinerja pemerintah) dan fungsi anggaran bersama-sama pemerintah dalam membuat alokasi anggaran pembangunan nasional sudah seharusnya selalu membuka diri untuk dikawal kinerjanya oleh masyarakat. Terbongkarnya skandal redaksional UU Kesehatan 2009 adalah salah satu kerja nyata pengawalan masyarakat sipil atas kinerja dan hasil kerja DPR, mulai dari pembahasan RUU hingga penetapan menjadi UU.
Hikmah dari terbongkarnya skandal redaksional UU Kesehatan 2009 ini adalah perlunya perluasan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan publik. Meski telah diatur dalam UU No 10/2004 pada Pasal 53 tentang partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU, dalam prakteknya masih sering dijumpai ketertutupan pihak-pihak didalam sekretariat DPR dalam mempublikasikan jadwal sidang-sidangnya. Bahkan terkadang pihak sekretariat enggan untuk dimintai jadwal sidang yang akan menjadi pedoman bagi organisasi masyarakat sipil dalam melakukan partisipasi perumusan kebijakan publik. Padahal semestinya jadwal sidang dapat di-update pada website resmi DPR. Tetapi faktanya, jadwal sidang-sidang DPR secara online justru lebih mudah ditemukan pada website LSM seperti situs parlemen.net yang dikelola oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

4/10/2010

Muktamar NU, Western Sahara dan Luluk Hamidah

Melalui seorang aktifis dan intelektual muda Nahdatul Ulama (NU), Luluk Hamidah, isu Western Sahara (Sahara Barat) akan menjadi salah satu point rekomendasi Muktamar NU ke-32 yang berlangsung 22-28 Maret 2010 di Makassar. Namun dalam perkembangannya, pasca Muktamar isu Western Sahara gagal mendapatkan perhatian muktamirin sehingga gagal pula masuk dalam rekomendasi Muktamar NU.
Padahal antara NU dan pejuang kemerdekaan Western Sahara sebelumnya sudah terjalin kontak-kontak informal. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi “Peace Building and Conflict Prevention in the Muslim Word” 29 Juli hingga 1 Agustus 2008 yang diselenggarakan NU, delegasi resmi dari Sahara Barat turut hadir dan berperan aktif dalam mengkampanyekan perdamaian dunia.
Eksistensi Sahara Barat
Secara umum, bahasa yang berlaku di Sahara Barat adalah Bahasa Arab dan Spanyol. Ibukota atau kota terbesar adalah Laayoune. Laayoune sering juga disebut Al-'Ajún adalah kota yang paling penting di Sahara Barat. Dalam versi pemerintahan Maroko, kota Laayoune statusnya adalah kota provinsi. Kota Laayoune mulai berkembang pada 1932 seiring dengan penemuan sumber air dan menjadi pusat pemerintahan kolonial Spanyol di Sahara Barat sebelum tahun 1975. Diperkirakan jumlah penduduk kota Laayoune sekitar 190 ribu orang.
Presidennya adalah Mohamed Abdel Aziz yang sedang dalam pengasingan, demikian pula dengan Perdana Menteri Abdelkader Taleb Oumar dalam pengasingan. Mata uang yang berlaku atau banyak digunakan adalah Dirham Maroko (MAD). Luas wilayahnya sekitar 266.000 km dengan penduduk sekitar 267.405 jiwa (Juli 2004). Sahara Barat merupakan salah satu daerah yang paling jarang dihuni di dunia, bahkan beberapa data mencatat tingkat kepadatannya sebagai yang paling rendah.
Bentuk pemerintahan berbentuk “republik” dengan nama Republik Demokratik Arab Sahrawi. Karena masih diduduki oleh Maroko, maka organisasi pembebasan Polisario yang lebih menonjol peran internasionalnya. Pengambilalihan Maroko atas wilayah Sahara Barat juga tidak diakui secara global sehingga banyak negara yang mendukung orgnaiasasi pembebasan Polisario untuk menuntut kemerdekaan Sahara Barat.
Isu kemerdekaan
Sahara Barat adalah salah satu wilayah di benua Afrika yang belum menikmati suasana kemerdekaan. Negara yang berbatasan dengan Maroko di sebelah utara dan Aljazair di timur itu dikuasai oleh Maroko pasca Spanyol meninggalkan negeri yang berada di barat laut Afrika itu pada tahun 1975. Maroko mengklaim bahwa wilayah Sahara Barat adalah wilayah kerajaan Maroko lama sebelum kolonial Spanyol menduduki Maroko.
Sementara rakyat Sahara Barat yang diwakili oleh Polisario menuntut kemerdekaan. Polisario menempuh perang gerilya tingkat rendah dari tahun 1975 hingga 1991. Banyak pengungsi Sahara Barat tinggal di kamp-kamp pengungsian di Aljazair. PBB kemudian memprakarsai gencatan senjata dan prosesnya sedang ditangani oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kasus Sahara Barat mirip dengan kasus Timor Timur yang sebelumnya menuntut PBB mengadakan referendum untuk pemerintahan sendiri. Karena itu, diplomasi pihak Maroko intens mendekati Indonesia agar isu kemerdekaan Sahara Barat tidak mendapat dukungan dari Indonesia. Pada bulan April 2007 silam, Menteri Luar Negeri Maroko, Mohammed Benaissa melakukan kunjungan resmi ke Indonesia terkait dengan penyelesaian Sahara Barat.
Ketika pemerintah Indonesia berjuang untuk otonomi khusus bagi Timor Timur pada decade 1990-an, Maroko sudah menyetujui referendum untuk Sahara Barat. Minurso, misi PBB yang ditugaskan untuk melaksanakan referendum di Sahara Barat tidak berhasil melaksanakannya karena terkait dengan sengketa masalah pendaftaran. Dalam 15 tahun terakhir tidak ada perkembangan berarti penyelesaian masalah Sahara Barat. Apalagi mandat Minurso sudah habis sejak bulan April 2007 sehingga Maroko berinisiatif menawarkan konsep baru untuk Sahara Barat yakni otonomi.
Pasca berakhirnya mandat Minurso, Dewan Keamanan PBB mengangkat Peter van Walsum, seorang diplomat Belanda untuk menjadi penengah PBB. Namun dalam perkembangannya perundingan yang dipimpin Peter berjalan lamban dan cenderung menguntungkan Maroko sehingga membuat marah kelompok Front Polisario, Sahara Barat. Peter dikritik keras oleh pihak Polisario atas laporannya kepada Dewan keamanan PBB pada April 2008 yang menyimpulkan “kemerdekaan Sahara Barat tidak realistis”. Akhirnya Peter mengundurkan diri sebagai perunding antara Polisario dengan Maroko.
Pada bulan Februari 2010, kembali PBB mempertemukan dalam meja perundingan tidak resmi antara pihak Maroko dan gerakan kemerdekaan Front Polisario. Pembicaraan selama dua hari itu akhirnya kembali gagal mempertemukan kepentingan politik kedua pihak. Utusan pribadi Sekjen PBB untuk Sahara Barat, Christopher Ross, mengatakan bahwa dalam sebuah pernyataan di akhir pembicaraan itu bahwa "tidak ada pihak yang mau menerima usul pihak lainnya sebagai dasar bagi berlanjutnya pembicaraan di masa mendatang". Mohammed Khadad, seorang pejabat senior Polisario yang menghadiri pertemuan di Armonk, menjelaskan berbagai pihak yang terlibat, Rabu, memusatkan perhatian pada masalah hak asasi manusia dan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan (Antaranews, 12/02/2010). Padahal perundangan tidak resmi tersebut sebagai prakondisi menuju perundingan resmi putaran kelima antara Maroko dengan Polisario. Sebelumnya perundingan Putaran Empat yang berlangsung di Manhasest, New York pada Juni 2007 gagal memecahkan perselisihan.
Belum tuntasnya penyelesaian Sahara Barat menyebabkan pula kerenggangan antara Maroko dan Aljazair. Aljazair mendukung Polisario demikian pula dengan Afrika Selatan dan beberapa negara lainnya. Sementara Amerika Serikat dan Prancis mendukung Maroko atas kasus Sahara Barat yang memiliki kekayaan potensi perikanan dan pertambangan, khususnya fosfat.
Peran Indonesia
Masyarakat Sahara Barat membutuhkan sikap dan peran Indonesia dalam penyelesaian sengketa Polisario dengan Maroko. Sebagai negara anti penjajahan, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi, ““Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”, maka Indonesia dituntut konsistensinya dalam memainkan peran internasionalnya.
Posisi Indonesia sangat strategis dalam PBB. Indonesia merupakan Ketua Komite Khusus PBB Urusan Dekolonisasi (C24) disamping anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Posisi tersebut memungkinkan Indonesia mengimplementasikan semangat anti-kolonialisme dalam menyelesaikan kasus Sahara Barat. Indonesia terakhir kali menjadi anggota dewan keamanan PBB pada masa Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri RI pada dekade 1970-an. Dewan Keamanan PBB adalah badan terkuat di PBB yang memiliki keputusan yang harus dilaksanakan oleh seluruh anggota dibawah Piagam PBB.
Selain itu, posisi Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim dapat pula dianggap sebagai representasi negara-negara muslim. OKI (Organisasi Konferensi Islam) sebagai organisasi yang beranggotakan negara dan negeri muslim sebagian diantaranya masih terlibat dalam konflik senjata. Selama ini, nyaris tidak ada perwakilan anggota DK PBB yang mampu membawa aspirasi negara-negara muslim yang bersengketa itu di forum-forum PBB.
Melihat posisi Indonesia, maka para pejuang pembebasan Sahara Barat berupaya mendekati Pemerintah Indonesia untuk dapat menyuarakan aspirasinya di forum PBB dalam dalam hubungan bilateral. Salah satu kelompok kepentingan dan organisasi civil society yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia adalah Nahdatul Ulama yang sedang melaksanakan Muktamar yang ke-32. Namun, NU nampaknya belum mampu mengakomodir dan memperjuangkan nasib umat Islam di Sahara Barat untuk bisa merasakan kemerdekaannya.