Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

8/31/2009

Tari Pendet ; Politik Budaya dan Budaya Politik

Malaysia kembali mengklaim salah satu produk budaya asli Indonesia, Tari Pendet. Bentuk klaim tersebut tercermin dalam penayangan iklan promosi wisata Malaysia yang menayangkan Tari Pendet yang berasal dari Bali. Sebenarnya Tari Pendet bukanlah kasus pertama, karena tercatat sudah menjadi kasus keempat klaim Malaysia untuk tarian saja, setelah "Tari Piring" dari Sumatera Barat, "Tari Reog Ponorogo" dari Jawa Timur dan "Tari Kuda Lumping" yang juga dari Jawa Timur.
Tari pendet yang dimainkan oleh perempuan yang mengenakan busana adat Bali ditayangkan berkali-kali dalam iklan Visit Malaysia Year di beberapa stasiun televisi, baik di dalam dan luar negeri Malaysia. Melalui siaran iklan Visit Malaysia Year, pihak Malaysia mengklaim tari pendet atau tari selamat datang yang biasa disuguhkan masyarakat Bali kepada para tamu penting yang datang ke Pulau Dewata sebagai miliknya. Menurut Guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Prof. Wayan Dibia, MA, penari yang ditayangkan dalam iklan tersebut adalah orang Bali bernama Lusia dan Wiwik yang merupakan alumnus ISI Denpasar. Sementara itu, pengambilan gambarnya dilakukan Bali Record sekitar dua hingga tiga tahun lalu (Kompas.com).
Klaim Malaysia tentang Tari Pendet yang erat terkait dengan tata upacara keagamaan Hindu Bali, sangat tidak berdasar karena Malaysia penduduknya berbasis agama Islam. Tercatat sekitar 50,4 persen dari seluruh penduduk Malaysia berpenduduk Muslim yang berjumlah 28,3 juta jiwa. Sedang dari perspektif historis, budaya Hindu Bali jauh lebih tua daripada Negeri Malaka yang menjadi cikal bakal kelahiran negara Malaysia. Dalam sejarahnya, Malaka didirikan oleh Prameswara, seorang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya yang bermigrasi melalui Tumasik, sekarang bernama Singapore. Prameswara bermigrasi saat Majapahit menguasai Palembang sebagai ibukota Sriwijaya kala itu. Pendekatan ilmu sejarah salah satu alat bantu yang bisa menjelaskan keberadaan Tari Pendet dan budaya lainnya dalam menghadapi klaim Malaysia, bukan hanya pendekatan ilmu hukum HAKI semata.

Politik Budaya
Persoalan Tari Pendet yang digunakan oleh pihak Malaysian Tourism Board dalam iklan promosi pariwisata negaranya ke seluruh dunia merupakan urusan bisnis dan tidak terkait dengan urusan kebudayaan. Sepintas mungkin kasusnya bisa disamakan seperti motif Aborigin, motif Indian dan seterusnya dalam produk kerajinan buatan seniman Bali dan seniman lainnya di pelosok negeri. Jadi motifnya bisa dikategorikan sebagai urusan cari uang semata yang dikemas dalam promosi pariwisata dan bukan urusan kebudayaan.
Nah bila pemerintah Indonesia tidak ingin diklaim produk budayanya oleh pihak negara lain adalah tugas Indonesian Tourism Board untuk memasang iklan promosi dengan cara yang sama gencarnya ke pelosok dunia. Penggunaan Tari Pendet oleh pihak Malaysia karena terkait dengan politik budaya kita yang kurang menghargai budaya sendiri. Bila promosi pariwisata kita menampilkan produk budaya sendiri maka itulah langkah nyata penghargaaan atas budaya sendiri sehingga pihak Malaysia akan tidak seenaknya memakai kesenian kita sebagai pemancing turis.
Kita bisa saksikan akhir-akhir ini penggunaan kesenian barongsai lebih banyak dipertontonkan pada event-event kesenian di perkotaan. Padahal barongsai adalah produk budaya dari negeri Tiongkok dan bukan produk asli budaya rakyat Indonesia. Meski banyak dimainkan di banyak negara, nyaris tidak ada protes dari rakyat Tiongkok yang merasa dicuri produk budayanya oleh banyak negara. Mungkin persoalan ini karena rakyat yang memainkannya masih dari keturunan Tiongkok walau sudah warga negara setempat.
Dalam bidang olahraga, pencak silat adalah salah satu produk budaya Indonesia yang sudah banyak dikuasai oleh masyarakat dunia, utamanya para atlet bela diri. Bahkan pada beberapa event, pencak silat sudah mempertontonkan oleh warga negara lainnya. Meski sudah mendunia, kita tidak pernah memprotes dan mengkategorikan “pencurian budaya” pencak silat karena pada dasarnya produk budaya dan kesenian yang dapat dengan mudah berpindah tangan dengan melalui proses pelatihan. Yang jadi persoalan adalah pada pemerintah kita adalah sejauh mana perannya dalam mematenkan ribuan jenis kebudayaan dan kesenian kita sehingga kita tidak dibayangi ancaman “pencurian budaya” dan sejauh mana politik budaya dalam mengayomi dan melindungi ribuan produk kesenian dan budaya kita.
Justru yang melakukan langkah lebih nyata adalah para anak muda yang bergabung dalam Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI), sebuah LSM yang melakukan proses pendataan budaya Indonesia. Dalam situsnya, http://budaya-indonesia.org/ para anak muda itu mengupayakan langkah-langkah konkrit perlindungan hukum atas kekayaan budaya Indonesia yang berjumlah ribuan di seluruh pelosok tanah air. Bandingkan dengan kinerja birokrasi pemerintah dibidang pariwisata c.q. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan dinas-dinas pariwisata di daerah yang kurang jelas output dan outcome dari kegiatan mereka sehari-hari dan setiap bulan menerima gaji dari anggaran negara.
Sebagai sebuah LSM, IACI senantiasa terbuka bagi segenap anak bangsa yang memiliki kepedulian baik bantuan ide, tenaga dan donasi dalam rangka mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Dalam hal dukungan proses pendataan kekayaan budaya Indonesia, IACI mengharapkan setiap anak bangsa yang memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang budaya Indonesia untuk berpartisipasi meng-upload ke situs perpustakaan digital budaya Indonesia pada alamat http://budaya-indonesia.org/. Perlindungan hukum dengan dukungan data yang baik akan menghasilkan produk katalog seni budaya Indonesia yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Budaya Politik
Kasus Tari Pendet membawa hikmah tersendiri karena rakyat Indonesia kembali dipersatukan oleh isu yang sama dalam membangun soliditas kembali setelah sempat tercerai berai pasca pemilu presiden Juli lalu. Budaya politik “tidak siap kalah” dikalangan elit politik sempat menguat dan mengancam perpecahan anak bangsa akhirnya dapat dipersatukan oleh gagasan untuk memikirkan kembali khasanah budaya kita yang sangat beragam namun tidak terdokumentasi dengan baik.
Bila kita merenungkan kasus Tari Pendet yang mencuat di kala kita merayakan Hari Kemerdekaan rasanya kita dapat mensyukuri sebagai rahmat tersembunyi karena dengan demikian kita mulai bersatu lagi dan mulai memperhatikan kesenian kita kembali. Mesti tidak harus berterima kasih kepada Malaysia sebenarnya terbersit rasa bangga atas adanya tarian dan kesenian rakyat kita dipertontonkan oleh negara lain.
Pada kasus Tari Pendet itu bisa saja yang menarikannya warga Malaysia keturunan Bali karena Malaysia telah menjadi negeri impian bagi sebagian warga negara Indonesia yang ingin memperbaiki nasibnya dengan memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, pemerintah Malaysia berhasil menyulap negeri Malaka itu menjadi bangsa Malaka modern dengan sistem tatakelola negara modern pula.
Dalam perspekif politik internasional, ketegangan terus menerus antara Indonesia dengan Malaysia dapat mempengaruhi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bisa saja ada pihak tertentu sedang membangun skenario adu domba antara Indonesia dengan Malaysia oleh pihak-pihak yang menginginkan kawasan Asia Tenggara terpecah. Apalagi Indonesia dan Malaysia adalah dua negara berpenduduk Islam berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.

8/14/2009

Pembangunan Energi Alternatif di NTT : Sebuah Tawaran Pemikiran

Tantangan pembangunan di NTT adalah faktor energi. Bila anda berjalan-jalan di Kota Kupang di waktu malam, hampir pasti anda tidak mendapatkan temaram lampu jalan di sepanjang kota. Padahal Kota Kupang adalah ibukota Propinsi yang menjadi kota terbesar di propinsi yang berbatasan dengan negara Australia tersebut. Bisa diperkirakan suasana yang sama kota-kota di kabupaten dan desa-desa di pelosok NTT. Disamping kekurangan energi listrik, warga Kota Kupang juga mengalami problema kekurangan air bersih. Bila energy listrik bisa dikatakan sebagai kebutuhan sekunder, maka air adalah kebutuhan primer karena manusia tidak bisa hidup tanpa air. Bukankah energy listrik dapat berfungsi menyuling air laut menjadi air tawar. Tulisan ini banyak diwarnai oleh pemikiran Adyanto Aditomo, seorang anggota milis Kompas tentang energi listrik alternatif.
Pembangunan Pembangkit Listrik
Kalau sumber energi itu berupa Panas Matahari, sudah sejak ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun masyarakat kita telah menggunakannya, misalnya untuk menjemur pakaian, menjemur padi, menjemur kopi dan sebagainya. Kalau sumber energi berupa Angin, juga sama dengan Matahari, sudah lama digunakan oleh masyarakat, misalnya di Tambak Garam, dimana pompa air lautnya menggunakan Kincir Angin. Tetapi kalau kita menghendaki Tenaga Listrik, dimana Primovernya menggunakan Tenaga Angin atau menggunakan Solar Cell, dimana Panas Matahari akan dirubah menjadi listrik, agar output listriknya stabil, baik tegangan maupun frekuensinya, kita harus menggunakan peralatan yang setiap saat mampu membuat Tegangan dan Frekuensi listrik tetap stabil.
Alat yang dimaksud bernama: UPS type Online. Bila menggunakan peralatan listrik yang dibeli di pasar atau ditoko, mayoritas Peralatan Listrik seperti Lampu TL, Pompa Air, Radio, TV, Lemari Es, Kipas Angin, termasuk peralatan yang akan digunakan untuk merubah Air Laut menjadi Air Tawar dan sebagainya memiliki persyaratan yang ketat untuk suplai daya listriknya, yaitu Tegangan dan Frekuensi Listriknya harus stabil.
Bila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka peralatan tersebut akan rusak.
Alternatif lain: membuat sendiri peralatan listrik yang tidak mengharuskan suplai listriknya stabil.
Sebetulnya ada dua alternatif yang bisa kita ambil, Alternatif pertama: bila tanpa UPS dengan Tenaga Angin. Bila dari hasil survey ternyata kecepatan angin selama 24 jam/ hari sepanjang tahun berkisar antara 1 - 50 m/ detik, maka energi angin yang akan dirubah menjadi tenaga listrik hanya kecepatan angin 1 m/ detik saja.
Sisa energi yang didapat bisa digunakan untuk menggerakkan penggilingan beras mekanik, pompa mekanik, dsb. Bila tanpa UPS dengan memanfaatkan Energi Matahari. Saat ini belum ada data: apakah ada daerah di Indonesia yang sepanjang tahun memiliki jumlah sinar matahari stabil minimal 5 jam per hari sepanjang tahun. Bila tidak ada, maka Sumber Daya Listrik dengan Solar Cell tanpa UPS sistem operasinya menjadi tidak ekonomis.
Alternatif kedua: bila menggunakan UPS dengan Tenaga Angin. Seluruh energi angin baik dengan kecepatan 1 m/ detik sampai 50 m/ detik bisa kita rubah menjadi energi listrik sehingga pemanfaatannya bisa optimal. Bila menggunakan UPS dengan memanfaatkan Energi Matahari. Seluruh energi yang didapat bisa dirubah menjadi energi listrik sehingga pemanfaatannya bisa optimal.
Untuk wilayah yang memiliki banyak sumber air yang mengalir deras sepanjang tahun, bisa menggunakan Pembangkit Listrik Mikro Hydro seperti yang pernah dilakukan oleh mahasiswa Tehnik Trisakti yang membangun 2 unit Pembangkit Listrik Mikro Hydro yang masing - masing berkapasitas 3000 KWe (Kilo Watt elektric) dan 5000 KWe di daerah Sukabumi untuk disumbangkan kepada masyarakat setempat (dibangun di 2 lokasi).
Biaya operasi pembangkit listrik seperti ini, karena tidak membutuhkan UPS dan battery, memang murah meriah dan hasilnya optimal. Bila sumber airnya bisa lebih besar lagi, bisa dibangun Pembangkit Listrik Mini Hydro yang kapasitasnya bisa mencapai 30.000 KWe yang saat ini banyak dikembangkan oleh Indonesia Power, anak perusahan PLN yang bertanggung jawab soal Pembangkit Listrik di Indonesia.
Persoalan Perangkat Battery
UPS lokal atau ex import tapi murah itu biasanya tipe Off Line, bukan type On Line. Sekarang tinggal yang akan dioperasikan : apakah cukup menggunakan type Off Line ataukah harus Type On Line. Kalau peralatan listrik tersebut mensyaratkan Tegangan dan Frekuensi listrik yang stabil, maka harus menggunakan type On Line. Untuk kapasitas 20 KVA dengan battery 7 menit dan usia battery 3 tahun, harganya sekitar Rp. 75 juta. Yang tidak murah adalah harga batterynya.
Harga battery itu sangat tergantung dari: (1) Berapa lama usia battery. Ada yang cuma 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 10 tahun, 15 tahun dan 20 rahun. Perbedaan harganya lumayan besar. Battery yang digunakan harus battery yang digunakan khusus untuk UPS agar kualitas suplai dayanya sesuai dengan spesifikasi yang dikehendaki. Soal harga, memang lumayan mahal. Untuk kapasitas 100 AH, 6 Volt, usia 5 tahun, harganya sekitar Rp. 3 juta/ unitnya. Battery ini harus disimpan ditempat yang temperatur udaranya tidak boleh lebih dari 25 C. Kalau dilanggar, maka usia battery akan menjadi lebih pendek. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai jumlah energi yang diperlukan untuk menjaga agar UPS bisa beroperasi secara optimal, misalnya untuk mengoperasikan AC bagi battery, justru sangat membebani UPS tersebut; (2) Berapa besar kapasitas battery. Kalau hanya untuk mengamankan Computer terhadap gangguan listrik sesaat, cukup yang kapasitasnya 7 - 10 menit saja. Tetapi kalau untuk meratakan suplai sumber daya listrik dimana inputnya tidak stabil, kapasitas batterynya harus cukup untuk beberapa jam operasi.
Bila mau menggunakan Solar Cell, dimana matahari hanya akan bersinar selama 8 jam efektif, maka kapasitas battery harus disesuaikan dengan kemungkinan matahari tertutup awan, jam operasi peralatan perharinya dan sebagainya. Dan ini harganya tidak murah. Dalam kondisi tertentu, harga batterynya bisa sampai 20 kali harga UPS-nya. Bila harga UPS Rp. 75 juta, maka harga batterynya bisa Rp. 1,5 milyar. Karena mahalnya harga battery, maka semua alternatif untuk Energi Alternatif seperti Solar Cell dan Tenaga Angin menjadi tidak ekonomis.
Untuk menghemat penggunaan battery antara lain: (1) Bila menggunakan Tenaga Angin. Jumlah Daya Listrik yang disuplai hanyalah sebatas kemampuan minimal dari Alternator tetapi bisa dioperasikan selama 24 jam/ hari, sehingga kita bisa menghemat penggunaan battery; (2) Bila menggunakan Tenaga Matahari, selain mengantisipasi bila matahari tertutup awan, jam operasinya dibuat pendek saja, yaitu sekitar 5 jam operasi/ hari. Dengan demikian diharapkan penggunaan battery bisa dihemat.
Seharusnya BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang mengambil alih penemuan ini sehingga bisa dimanfaatkan untuk sebesar - besarnya bagi kepentingan rakyat. Persoalannya adalah untuk mengaplikasikan penemuan ini hingga memenuhi syarat untuk diproduksi secara massal, pasti memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Yang punya anggaran, tenaga ahli dan akses ke pemilik sumber dana yang memadai untuk melaksanakan hal ini tak lain adalah BPPT.