Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

1/29/2011

Menimbang Kebijakan Penyewaan Hutan

Satu lagi kebijakan negara disoal oleh masyarakat yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). PP ini mengatur tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan. Kebijakan ini seakan memberi justifikasi terhadap penyewaan hutan, layaknya rental mobil yang dapat dipersewakan kepada siapa saja. Kebijakan ini kontan mendapatkan respon negatif dari kalangan masyarakat sipil karena kebijakan ini dapat mempersubur praktek illegal logging yang sudah banyak merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan ini dapat mempercepat laju kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia yang mencapai 2,7 juta hektar per tahun. Tanpa diberikan izin pun, laju perusakan hutan termasuk hutan lindung sudah terjadi dan terus berlangsung.
Menurut Presiden SBY usai memimpin rapat di Departemen Kehutanan hari Jumat (22/2) siang, didampingi Wapres Jusuf Kalla dan para menteri mengatakan bahwa, ”PP No 2/2008 sesungguhnya adalah berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang terbit tahun 2004 yang lalu, yakni PP Nomor 1 tahun 2004 sebagai revisi dari UU nomor 41 tahun 1999. PP ini juga adalah tindaklanjut dari Keppres No.41 tahun 2004 pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yang mengatur 13 ijin tetap yang diberikan kepada mereka yang berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan. Kemudian diatur lebih lanjut, bagaimana agar mereka memberikan kontribusi untuk negara, dimana kontribusi itu penting untuk memelihara, merehabilitasi dan menghutankan kembali kawasan- kawasan itu. Itulah sesungguhnya yang diatur atau jiwa dan semangat dari PP No 2 tahun 2008 itu," kata Presiden.
Sebagai bawahan presiden, Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban memberi penjelasan lebih lanjut bahwa selama ini sebenarnya banyak kawasan hutan yang sudah dipinjam-pakaikan untuk kepentingan selain kehutanan, seperti pemasangan tower, tambang oleh Pertamina atau perusahaan minyak dan lain-lain, dengan aturannya memberikan lahan pengganti. Tetapi sekarang ini lahan pengganti sudah semakin sulit. Jadi sebenarnya ada perubahan yang tadinya menggunakan lahan pengganti, sekarang diminta kompensasi untuk digunakan Dephut memperluas kawasan-kawasan hutan, membeli atau merehabilitasi kawasan-kawasan yang ada. "Sekali lagi kami sampaikan bahwa ini bukan penyewaan, karena pemerintah tidak menyewakan. Pemerintah minta kompensasi. Dan perlu diingat, semua perusahaan ini kewajibannya bukan hanya semata mata tarif dari pemanfaatan kawasannya, tetapi juga ada kewajiban membayar DRPSDH atau Dana Reboisasi Provisi Sumber Daya Hutan, serta membayar kewajiban PBB atau pajak-pajak lainnya," jelas MS Ka`ban. Dari penerbitan PP ini, pihak Departemen Kehutanan sendiri menargetkan PNBP sebesar Rp 600 miliar. Angka ini tidak sebanding dengan potensi kerugian yang akan membebani APBN bila bencana alam terjadi akibat kerusakan hutan. Malah prediksi Greenomics Indonesia menyatakan kerugian ekologi-ekonomi akibat PP ini bisa mencapai tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun.
Dari dua statemen pemerintah pemegang otoritas kehutanan, tersirat adanya pengalihan semangat melanjutkan memori publik bahwa kebijakan tersebut adalah kelanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya. Padahal sejatinya, kebijakan ini adalah legitmiasi terhadap kebijakan penyewaan hutan untuk tujuan penerimaan keuangan negara dan kontraproduktif dengan semangat mengurangi emisi gas rumah kaca dalam konteks global warming dan perubahan iklim.
Pertentangan Kebijakan
Penerbitan PP No. 2/2008 dapat dikategorikan bertentangan dengan kebijakan lebih tinggi yakni Undang-Undang (UU). PP No. 2/2008 yang memberi izin dilakukannya penambangan terbuka di kawasan hutan lindung bertentangan dengan Pasal 38 ayat (2) UU No. 41/1999 tentang penggunaan kawasan hutan. Ayat ini menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Pada ayat (4) juga disebutkan bahwa didalam kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola tambang terbuka.
Pertentangan lainnya adalah persoalan fungsi pokok kawasan hutan lindung. PP No. 2/2008 dapat mengakibatkan berubahnya fungsi pokok kawasan hutan, sementara Pasal 1 Angka (8) UU No. 41/1999 menyebutkan bahwa hutan lindung adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. Sistem penyangga tersebut meliputi pengaturan tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Bla terjadi perubahan fungsi pokok kawasan hutan karena tekanan modal (baca: uang) sebagaimana diatur dalam PP No. 2/2008, maka dampaknya sangat besar bagi masyarakat berupa ancaman bencana alam seperti banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau disamping secara makro hancurnya infrastruktur, hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) yang menjadi bagian sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam.
Selain masalah konten PP yang bertentangan dengan UU, PP No. 2/2008 juga secara hirarki peraturan perundang-udangan menyalahi pakem yang umum digunakan di Indonesia. Pada dasarnya keberadaan PP untuk menjelaskan sebuah UU yagn berada pada tingkat lebih tinggi. Namun ironisnya, PP No. 02/2008 tidak bermaksud untuk itu karena tidak menjelaskan UU mana yang dijelaskan, melainkan hanya menjelaskan aturan penyewaan hutan berdasarkan logika ekonomi. Malah ironisnya, PP No. 02/2008 justru menjelaskan aturan yang sama tingkatannya yaitu PP No. 22/1997 tentang jenis dan penyetoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang kemudian diubah menjadi PP No. 52/1998 atau dengan kata lain PP menjelaskan PP.
Semestinya rezim SBY-JK dapat mencontoh politik hukum ala rezim BJ Habibie yang menelorkan UU No. 41/1999 yang banyak mengilhami pemimpin negara-negara di dunia untuk melarang pertambangan terbuka di hutan lindung seperti Abel Apcheo, Presiden Kostarika, Presiden Ekuador dan pemerintah Kanada dan Argentina. Pada masa itu, Menteri Kehutanan dijabat oleh Dr. Muslimin Nasution, seorang teknokrat berlatar belakang ICMI.
Maka tak salah bila Ketua YLBHI, Patra M Zen menganggap bahwa klaim presiden SBY - sebagaimana dikutip dimuka - untuk menyelamatkan hutan melalui PP No. 02/2008 karena peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak menjadi dasar pertimbangan dari PP ini.
Penerbitan PP ini, semakin memperjelas watak rezim SBY-JK yang lebih mengedepankan idiologi politik ekonomi kapitalis karena lebih mementingkan kebijakan yang dapat memberi imbalan uang ketimbang keberlanjutan ekologi-ekonomi masyarakat banyak. Kebijakan ini tidak mempertimbangkan resiko penyewaan hutan yang berpotensi membawa kesengsaraan masyarakat akibat ancaman bencana alam. Sepertinya rezim ini tidak berkaca pada pengalaman beberapa waktu lalu ketika merebak serangkaian bencana alam baik secara langsung maupun tidak langsung akibat kerusakan hutan.
Bila PP ini tidak dicabut, maka tak salah bila publik bisa mencap rezim SBY sebagai rezim agent kapitalis yang tidak berpihak pada kepentingan publik melainkan hanya kepada para kapitalis (pemilik modal). Kebijakan penyewaan hutan tidak beda dengan rental mobil, dimana pihak penyewa tidak memiliki kewajiban menjaga keberlangsungan obyek yang disewanya karena merasa telah memberi imbalan uang sewa.
Bila watak ekonomi-politik pro kapitalis, maka alamat bagi bencana alam akan terus terjadi pada tahun-tahun mendatang. Banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya yang diakibatkan oleh penggundulan hutan akan menjadi dampak langsung dari PP ini. Sedang dampak tak langsung adalah terjadinya proses pemiskinan secara terus menerus dari akibat bencana alam yang mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat.

1/24/2011

Kesaksian JK dan Kwik Dalam Kasus Kebijakan Sisminbakum

Kebijakan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang dihasilkan Kantor Kementerian Kehakiman pada era Yusril Ihza Mahendra masih menjadi perkara yang belum bisa dikatakan tuntas karena adanya niat pihak Kejaksaan Agung mempidanakan Yusril Ihza Mahendra. Keinginan Yusril untuk menghadirkan Megawati Soekarnoputri (mantan Presiden) dan Susilo Bambang Yudhoyono (mantan Menteri Pertambangan) dari empat saksi kunci tidak dikabulkan oleh pihak Kejagung, justru yang dihadirkan oleh Kejagung hanya Jusuf Kalla (mantan Menteri Perdagangan dan Perindustrian) dan Kwik Kian Gie (mantan Menko Ekuin).
Yusril mempertanyakan alasan-alasan yuridis Kejaksaan Agung menetapkan Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka kasus korupsi kasus biaya akses Sisminbakum. Padahal, Kejagung setidak-tidaknya mengetahui dalam kurun 2000-2008 ada lima orang yang menjadi Menteri Kehakiman dan HAM. Kejagung menyatakan memenuhi permintaan Yusril meminta keterangan dari Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie. Tetapi, mengapa Kejaksaan Agung menolak meminta keterangan dari Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati? Sebelum tahun 2009 Presiden Yudhoyono menerbitkan 4 PP tentang PNBP yang berlaku di Departemen Hukum dan HAM dan tidak pernah menyatakan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP. Kebijakan Yusril tentang Sisminbakum dikuatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan seluruh anggota DPR periode 2004-2009 dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lalu apa alasan yuridis Kejaksaan Agung tidak menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan seluruh anggota DPR di atas sebagai tersangka? Maka tak salah bila Yusril menganggap ada unsur politis di balik memperkarakan dirinya dalam kasus Sisminbakum.
Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung Jasman Pandjaitan mengaku hanya memanggil JK dan Kwik sesuai dengan perintah jaksa peneliti dalam berkas perkara Sisminbakum karena sudah dalam tahap P-19 (belum lengkap dengan petunjuk). Keterangan tertulis dari JK dan Kwik akan dimasukkan ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Setelah itu perkara akan dilimpahkan ke pengadilan sesudah hasil pemeriksaan terhadap Kwik dan JK dimasukkan ke dalam BAP. Bila sudah lengkap, maka sudah masuk tahap P-21 (berkas lengkap).
Dari hasil permintaan keterangan Kwik Rabu (5/1/2011), penerapan kebijakan Sisminbakum di Departemen Kehakiman tidak salah. Kebijakan itu justru diakal-akali oleh pengusaha yang menjadi rekanan pengadaan Sisminbakum yakni PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). Investasi yang dilakukan pihak swasta dalam pengadaan sistem elektronik Sisminbakum sebesar Rp 500 juta, tetapi keuntungan yang diraih mencapai Rp 410 miliar. Jadi kebijakannya sendiri untuk komputerisasi tidak salah, justru pengusahanya yang mengakali.
Pihak swasta yang menjadi rekanan Departemen Kehakiman dalam pengadaan Sisminbakum yakni PT SRD, Direktur Utamanya Yohannes Waworuntu sudah dijatuhi hukuman karena dianggap merugikan negara sebesar Rp 410 miliar. Yohannes diwajibkan untuk membayar kerugian negara tersebut Rp 378 miliar setelah dipotong pajak dan hukuman lima tahun penjara. Sementara itu, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Zulkarnain Yunus dihukum satu tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara yang sama.
Mantan Dirjen AHU Departemen Kehakiman Romli Atmasasmita bawahan Yusril saat menjadi Menteri Kehakiman dibebaskan oleh Mahkamah Agung yang menandakan bahwa Sisminbakum tidak merugikan negara. Sebelumnya, Romli dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 September 2009. Majelis hakim menilai ia terbukti melakukan korupsi biaya akses Sisminbakum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana sehingga merugikan negara dan diperintahkan membayar denda Rp 100 juta subsider dua bulan penjara dan uang pengganti 2.000 dollar Amerika Serikat (AS) dan Rp 5 juta. Romli mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukumannya menjadi satu tahun penjara dan Romli tetap dihukum membayar uang pengganti. Di tingkat MA, hakim menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa Romli.
Bebasnya dari tuntutan hokum terhadap mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Kehakiman, Romli Atmasasmita dalam perkara Sisminbakum menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) M Amari (Kamis, 23/12/2010) tetap dilanjutkan yang melibatkan mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Amari beralasan Yusril tidak dapat langsung dibebaskan karena ada bukti lainnya yang menyeret mantan Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu dan mantan Dirjen AHU Zulkarnain Yunus dalam perkara yang sama.
Demikian pula dengan keterangan JK yang menjelaskan bahwa tidak ada unsur kerugian negara dalam penerapan kebijakan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Ia pun heran apabila Sisminbakum disebut merugikan negara. Pasalnya, pada tahun 2001 merupakan hal yang wajar proyek negara dibiayai swasta karena negara saat itu tidak memiliki dana. Kalau kerugian negara, ada uang negara yang diambil, sementara dalam kasus Sisminbakum adalah investasi pihak swasta. Hal tersebut sama seperti proyek jalan tol, di mana pengadaannya dilakukan swasta dan uang tol pun kemudian masuk ke swasta. Pada tahun 2000-an pemerintah tidak banyak uang, karena itu daripada meminjam tidak ada didalam APBN, maka otomatis privatisasi. Pada tahun 2000 juga belum ada aturan Sisminbakum masuk ke dalam PNBP.
JK juga mengatakan, kebijakan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Departemen Kehakiman merupakan hasil kesepakatan rapat kabinet sebagai bagian dari realisasi Letter of Intent antara pemerintahan RI dan International Monetary Fund (IMF). Hal ini terkait dengan upaya rehabilitasi kondisi ekonomi Indonesia. di dalam LoI disebutkan perlunya mempercepat upaya rehabilitasi ekonomi dengan mempercepat pendaftaran perusahaan. Sebelum ada Sisminbakum, waktu pendaftaran perusahaan memerlukan waktu berbulan-bulan dan memakan biaya sampai Rp 10 juta. Setelah ada sistem itu hanya butuh beberapa hari. Jadi ini sebenarnya suatu sistem yang menguntungkan semua pihak karena kebijakan diambil berdasarkan kebijakan makro pemerintah. Karena itu, tersangka kasus Sisminbakum Yusril Ihza Mahendra tidak bersalah.
Proyek Sisminbakum diresmikan Januari 2001 merupakan sebuah sistem pendaftaran perusahaan secara online yang memudahkan dan memotong birokrasi dalam mendirikan perusahaan. IMF dan Bank Dunia juga puas dengan percepatan proyek Sisminbakum yang membawa dampak luas bagi pemulihan ekonomi, penerimaan negara, dan penyerapan tenaga kerja. Masalah dalam kebijakan Sisminbakum dianggap korupsi oleh Kejaksaan Agung karena biaya akses harusnya masuk ke kas negara melalui penerimaan negara bukan pajak. Dalam pelaksanaan kebijakan Sisminbakum, 90 persen biaya akses kepada PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai rekanan Departemen Kehakiman, dan 10 persen kepada Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman.
Jusuf Kalla maupun Kwik mengakui negara tidak memiliki dana untuk merealisasikan proyek itu sehingga dibuatlah sistem Built, Operate, Transfer (BOT) dengan mengundang swasta untuk mendanainya. Pembagian biaya akses fee pun adalah wajar apabila diberikan kepada pihak swasta, setelah kontrak kerja selesai negara akan memiliki seluruh aset yang dibangun swasta tersebut.
Kesaksian JK dan Kwik meringankan tersangka Yusril. Yusril meyakini dalam kebijakan Sisminbakum tidak ditemukan bukti yang mengarah pada kerugian negara. Bila Kejagung tetap membawa ke pengadilan, maka dapat dibenarkan bila Yusril membawa perkara ini ke sidang dewan HAM. Pemerintah Indonesia bisa diadili di Dewan HAM, sebagai suatu negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak individu.