Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

2/23/2010

Kisah Kerbau dan Sang Presiden

Dinamika politik Indonesia akhir-akhir ini diwarnai dengan metaphor binatang. Bila sebelumnya ramai dibicarakan binatang cicak, buaya, gurita, maka kali ini tentang kerbau. Pangkal munculnya perbincangan tentang kerbau dalam wacana politik ketika sebuah aksi demonstrasi mengkritisi program 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono di kawasan Istana Merdeka, Jakarta pada Kamis (28/01/2010) dengan membawa serta binatang kerbau yang bertuliskan “Si Buya” pada badan kerbau.

Binatang kerbau termasuk dalam sub-family Bovinae, dan genus Buballus. Kerbau yang ada di wilayah Indonesia dikenal ada dua jenis yakni: pertama, kerbau sungai (River Buffalo) yang mempunyai 48 kromosom (24 pasang kromosom), misalnya kerbau Murrah yang ada di Sumatera Utara; dan kedua, kerbau lumpur atau rawa (Swap Buffalo) yang mempunyai 50 kromosom (24 pasang kromosom). Jenis kedualah yang paling banyak populasinya karena jenis kerbau pekerja dan penghasil daging, sedang jenis pertama adalah penghasil susu perah populasinya sangat sedikit. Dari seluruh populasi kerbau di seluruh dunia, hanya 2 persen yang berada di Indonesia.

Meski populasinya hanya dua persen, berita tentang kerbau Indonesia telah menyebar luas ke seluruh dunia sehubungan dengan demonstrasi kerbau “Si Buya” di depan Istana Negara. Tulisan “Si Buya” tersebutlah yang menjadi pemicu Presiden SBY tersindir dan menjadi perbincangan para petinggi negara ketika melangsungkan hajatan kenegaraan bersama semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan gubernur seluruh Indonesia di Istana Presiden di Cipanas, Jawa Barat pada Selasa (02/2/2010).

Reaksi Presiden SBY tersebut seakan menjadi pemantik dimulainya polemik tentang persoalan etika dalam berdemonstrasi. Bagi para pendukung SBY, demonstrasi dengan melibatkan kerbau sangat tidak etis. Apalagi binatang kerbau bagi masyarakat Indonesia diidentikkan sebagai symbol kebodohan dan kelambanan. Berbeda dengan astrologi orang China yang melambangkan kerbau sebagai simbol kehebatan. Pihak kepolisian pun kesulitan menangkap demonstran yang membawa binatang karena tidak diatur dalam Undang-Undang. Bila menggunakan tuduhan pencemaran nama dengan adanya nama “Si Buya” sangat tidak beralasan, kecuali bila bertuliskan “Si Buyo” maka bisa saja dijadikan akronim “Susilo Bambang Yudhoyono”.

Sebenarnya masyarakat tidak banyak yang menaruh perhatian kehadiran kerbau dalam aksi demonstrasi pada 28 Januari. Namun SBY sendiri yang mempopulerkan kehadiran kerbau dalam demonstrasi dan mendapatkan liputan media massa secara luas. Sepertinya scenario mengangkat demonstrasi kerbau “Si Buya” untuk mencitrakan dirinya yang kembali teraniaya sehingga public kembali berpihak kepadanya. Namun bukannya citra positif yang didapat, justru public semakin mempertegas imaji tentang sosok pribadi SBY yang sebenarnya sebagai sosok melankolis yang doyan mengeluh.

Pendukung Presiden SBY pun tidak bisa secara langsung mengajukan pasal-pasal pidana kepada para demonstran itu. Penyebabnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menganulir norma tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2006 dalam putusannya No. 022/PUU-IV/2006. Namun MK tidak menganulir penghinaan terhadap kepala negara asing atau wakil negara asing di Indonesia. Bagi para penghina kepala negara asing, ancaman pidananya sangat berat maksimun 5 tahun. Memang harus diakui bahwa dampak putusan tersebut menyebabkan berkurangnya penghormatan terhadap presedin, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Bila mengajukan pasal penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP) pun tidak akan manjur karena para demonstran itu tidak melakukan perbuatan dimuka korban itu sendiri, sebagaimana disebut dalam KUHP. Lain halnya bila menggunakan Pasal 316 KUHP, pasal penghinaan terhadap orang yang ada dalam lembaga penguasa atau badan umum ketika dia sedang atau karena dalam menjalankan tugas pekerjaannya yang sah. Demikian pula pada Pasal 207 KUHP tentang pasal penghinaan dengan lisan atau tulisan, tetapi bukan dengan perbuatan membawa kerbau. Obyek kejahatan berdasarkan Pasal 207 adalah penguasa dan badan umum. Yang dimaksud dengan penguasa adalah badan-badan public atau pemerintah yang memegang atau melaksanakan tugas pekerjaan untuk kepentingan umum. Sedangkan Badan Umum adalah semua badan bukan badan public, tetapi melaksanakan pekerjaa atau pelayanan untuk kepentingan umum.

Pasal yang lebih spesifik yang bisa menjerat para demonstran adalah perbuatan memaksa hewan untuk berada diluar habitatnya, apalagi bila menyiksa dan membunuh hewan seperti animal abuse atau animal cruelty yang diatur dalam Pasal 302 KUHP. Pada ayat 1 huruf 1 dalam pasal tersebut berkenaan dengan perbuatan demonstran yang melampau batas dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya, diancam penjara paling lama tiga bulan.

Sebagian masyarakat Indonesia cenderung memandang rendah derajat binatang sehingga cenderung mengabaikan faktor penyiksaan hewan, termasuk bila menyertakan dalam aksi demonstrasi. Padahal sebagai makhluk hidup, hewan-hewan itu sangat bermanfaat bagi manusia. Bandingkan dengan masyarakat Cina yang menjadikan binatang sebagai symbol kelahiran yang dikenal dengan istilah shio, misalnya shio kerbau, shio babi, shio anjing dan seterusnya.

Didalam dunia binatang, kerbau memiliki sifat positif maupun sifat negatif. Sifat positif binatang kerbau adalah stamina yang kuat, gampang diajak bekerjasama, dan pekerja keras. Sementara sifat negatifnya adalah lamban bergerak, badan besar, dan sudah pasti bodoh. Memang pada dunia binatang dikenal beberapa yang pintar seperti anjing yang dapat dijadikan partner bagi polisi dalam mengendus kejahatan.

Demo Alegoris
Demonstrasi dengan membawa simbol-simbol seperti binatang adalah demonstrasi alegoris. Demo alegoris biasanya berjalan dengan santun tanpa tindak kekerasan. Berbeda halnya dengan demonstrasi anarkis yang menggunakan aksi-aksi kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya, seperti membakar benda-benda tertentu dengan maksud menarik perhatian. Namun anehnya, demo alegoris pada peringatan 100 hari SBY-Boediono banyak yang mencapkan tidak beretika dan tidak sesuai dengan adat-adat ketimuran. Benarnya demikian?

Demonstrasi merupakan tautan antara aksi dan reaksi. Peringatan para demonstran dengan simbol “kerbau” karena selama ini melihat pemerintahan yang dipimpin SBY sangat lamban dalam menyelesaikan agenda nasional, baik yang mereka rumuskan dalam forum National Summit maupun penyelesaian skandal Bank Century. Maka sebagai bahasa komunikasi non-verbal, simbol “kerbau” itu sangat pas diidentikkan dengan fisik “SBY” yang berbadan besar dan lamban bergerak.

Bila SBY berpikiran positif, maka pesan non-verbal itulah yang ditanggapi dengan menunjukkan kinerja positif sebagaimana tuntutan rakyat yang diusung para demonstran itu. Bila menanggapinya dalam pidato, maka substansi aksi demo seyogyanya yang menjadi bahan evaluasi pemerintahannya, bukannya masalah kerbau yang berbau artifisial. Tuntutan demonstran substansinya adalah penyelesaian masalah century yang bertendensi korupsi, karena tema korupsi inilah yang menjadi tema umum kampanye SBY-Boedion pada saat pemilihan presiden tahun 2009 silam. Namun alih-alih menyelesaikan kasus century, justru SBY dan partai pendukungnya (utamanya Partai Demokrat) menyebarkan wacana reshuffle kabinet menyikapi menjelang penuntasan investasi kasus Century oleh Pansus Angket Century DPR.

Berbicara tentang etika dalam berdemonstrasi, sebenarnya demonstrasi dengan membawa kerbau jauh lebih santun ketimbang aksi-aksi Ruhut Sitompul (anggota Fraksi Demokrat) didalam sidang Pansus Hak Angket Century. Kata-kata “bangsat” yang sering keluar dari mulut politisi yang berlatarbelakang pengacara itu bisa jadi pangkal dari aksi para demontran. “Bangsat” sendiri adalah binatang kecil yang sering berkeliaran didalam tempat tidur yang tidak bersih.

Kata-kata bijak Aung San Suu Kyi - pejuang demokrasi Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 silam - mungkin bisa menemani renungan kita tentang politik Indonesia, “Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak watak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap Komentar yang sopan sesuai etika berkomunikasi