Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

12/28/2008

Seribu "Daeng" Seribu Harapan

Warga Makassar akrab dengan “Coto Makassar Asuhan Daeng Tunru” sementara penggemar kuliner di Jakarta fasih menyebut “Konro Bakar Mamink Daeng Tata”. Kepada pengayuh becak, kita menawar harga, “Berapa sampai pasar, Daeng?” Nun jauh di perantauan, tidak sedikit orang Bugis-Makassar melestarikan sebutan “Daeng” untuk menegaskan identitas mereka. Bagi masyarakat Bugis, panggilan “Daeng” terbatas untuk merujuk pada seseorang yang dituakan. Tapi bagi masyarakat Makassar, Daeng juga adalah nama khusus atau disebut paddaengang, cerminan harapan yang luhur. Seperti apakah pengunaan nama daeng ini di tengah masyarakat Makassar? Berikut rangkuman laporan sejumlah citizen reporter mengenai paddaengang.(p!)



Di kalangan masyarakat Makassar, gelar daeng atau paddaengang disebut sebagai areng alusu’ (nama halus), yang penulisannya disandingkan dengan nama resmi. Inti pemberian gelar ini adalah menyematkan harapan agar si penyandang nama menempuh hidup sesuai makna paddaengangnya.

Mari kita simak penuturan Kamaruddin daeng Nuntung, citizen reporter yang sekarang bekerja di Banda Aceh. Ia bercerita bahwa di Kabupaten Takalar, keluarga besarnya masih menjaga ketat tradisi paddaengang. Ia mendapatkan gelar Daeng Nuntung ketika berusia 12 tahun, saat akan disunat.

Nama Kamaruddin yang disandangnya diresmikan saat pelaksanaan aqiqah, yang dalam bahasa Makassarnya disebut a’caru caru. Pada saat aqiqah ini juga sudah diancang-ancang sebuah nama daeng untuknya dengan meminta masukan dari nenek dan kakek di keluarga besar. Nama daeng biasanya diusulkan dari nama nenek, kakek dan buyut baik dari garis ayah maupun ibu.

Gelarannya sebagai Daeng Nuntung kemudian diresmikan saat ia dikhitan, tepatnya sebulan sebelum masuk ke SMP di Galesong, Takalar. Tahapan a’gau gau (khitanan) secara tradisional di tanah Galesong terdiri dari tiga, yakni barazanji, penammatan Al Quran, dan sebuah tahapan yang disebut Atta’ba di mana sumbangan dari pihak keluarga bagi yang anak dikhitan disebutkan. Pada proses atta’ba inilah diumumkan tentang pemberian nama “Daeng Nuntung” bagi Kamaruddin.

Atta’ba yang dipandu seorang Imam itu mengumumkan: “Anne alloa nia ngaseng maki mae, para bija, purina, cikali, nenek , dato’na iya ngaseng niaka di kamponga battumaki ri patta’bakanna i Kamarudding daeng Nuntung.”

Artinya: ”Hari ini datanglah ke sini, keluarga, om, sepupu, nenek dan kakek, semua yang ada di kampung datanglah ri pattabbakanna Kamaruddin daeng Nuntung.”


Kamaruddin meneruskan tradisi pemberian gelar daeng di keluarganya. Ketiga anaknya bahkan telah mendapatkan paddaengangnya ketika diaqiqah, masing-masing Intan daeng Ngintang, Khalid Adam daeng Ngalli dan Aisyah Sofianita daeng Te’ne. Nama-nama tersebut diambil dari nama kakek dan nenek di keluarga besar.

“Saya tetap meneruskan tradisi paddaengang ini karena ingin mengingat sejarah keluarga sekaligus juga menjadikan gelar itu sebagai bentangan harapan dan doa bagi anak-anak saya,” tutur Kamaruddin.


Sempat Malu
Sementara itu citizen reporter Syaifullah daeng Bella dari Kabupaten Gowa mengaku mulai tertarik menelusuri tradisi paddaengang di keluarganya ketika beranjak remaja. Ia menanyakan tradisi paddaengang ini kepada salah seorang neneknya.

“Katanya jaman dulu pemberian gelar daeng diberikan setelah sang bayi lahir. Biasanya yang paling berhak memberi nama daeng tersebut adalah kakek atau nenek langsung dari si bayi. Biiasanya juga nama daeng-nya akan lebih populer dari nama aslinya, dalam artian keluarga maupun orang-orang terdekat akan hanya memanggil nama daeng-nya saja tanpa menyebut nama aslinya. namun di jaman sekarang pemberian gelar daeng tersebut diberikan kepada anak yang sudah beranjak remaja, sebagian besar hanya formalitas saja dan tidak terlalu melekat seperti kebiasaan orang jaman dahulu.”

Tentang acara khusus untuk pemberian nama daeng, di keluarga Syaifullah pada dasarnya tidak memerlukan ritual khusus selain diumumkan pada saat sang bayi diaqiqah. Yang menarik karena ia mengamati anak muda Makassar zaman sekarang meski masih banyak yang punya nama daeng pemberian kakek dan nenek, tapi sayangnya terlalu sedikit dari mereka yang mau memakai atau sekedar menuliskan nama daengnya.

“Kebanyakan anak muda sekarang menganggap pemakaian nama daeng sudah terlalu "jadul" (jaman dulu –istilah ketinggalan jaman –ed), kampungan dan tidak intelek. Apalagi bila melihat kenyataan jaman sekarang, nama daeng diasosiasikan dengan masyarakat kelas bawah seperti tukang becak, tukang batu, dan lain-lain. Saya sendiri mendapat nama daeng Bella (artinya jauh) dari nenek saya, nama ini diambil dari nama bapak beliau yang mati digorok pemberontak tahun 50-an. Kata nenek saya, beliau ini orangnya tegas, kukuh dalam pendiriannya dan suka menolong yang lemah dan beliau berharap saya bisa memiliki sifat yang sama,” tutur Syaifullah.

Banggakah ia dengan nama daengnya itu? Syaifullah mengaku ia cukup bangga dengan nama ini, “Tapi sayangnya nama ini terdengar agak feminin, sehingga kemudian saya tidak pernah menuliskannya lagi karena malu. Sampai sekarang nenek saya masih sering memanggil saya dengan nama Daeng Bella. Sementara nenek memberi gelar istri saya yang orang Jawa, Daeng Pajja karena kulitnya yang hitam manis. Pemberian nama daeng untuk istri saya ini tanpa acara ritual khusus.”

Egaliter vs Bangga
Lain lagi dengan Zohra Andi Baso Karaeng Intang yang lahir di tengah keluarga bangsawan di kabupaten Pangkep. Ia bercerita bahwa di tengah keluarga dan sahabat dekatnya ia memang dipanggil “Karaeng Intang”. Intang adalah gelar daeng yang disematkan kepada aktivis gerakan perempuan ini. Sekarang ia merasa jengah dengan panggilan itu.

“Zaman sudah berubah. Di keluarga besar kami sudah ditradisikan menyebut Tante, Om, Kakek, Nenek, Kakak dan bukannya melestarikan panggilan yang sangat hirarkis itu. Dahulu, pemberlakuannya di kalangan bangsawan sangat ketat. Salah panggil bisa dianggap tidak tahu adat. Anak laki-laki mendapatkan gelar daeng saat ia disunat, sementara anak perempuan menyandang gelar daengnya saat haid pertama. Tapi ada juga anak-anak yang telah mendapatkan gelarnya sejak bayi. Nama daeng ini diambil dari nama leluhur kami. Tapi sekarang saya lebih nyaman dengan panggilan yang mencerminkan kesetaraan, sikap egaliter,” tutur Zohra.

Repot menghapal gelaran daeng setiap anggota keluarga dan sanak famili dirasakan citizen reporter Yusrianti daeng Lantiq, yang besar di tengah keluarga bangsawan Jeneponto. “Orang tua saya sangat menjaga tata krama panggilan daeng di tengah keluarga kami. Tapi bagi anak-anak muda, ini merepotkan sekali. Bila bergaul dengan sepupu yang lain, rasanya ada jarak untuk mengingat nama daeng, nama asli, nama kecil. Bila salah sebut, kami dicap tidak sopan,” tuturnya.

Tapi setelah beranjak dewasa dan kemudian merantau ke Jakarta, Yusrianti kemudian “back to basic” dalam soal panggilan daeng ini. Ia menyebut gelaran daengnya setiap kali memperkenalkan namanya. Meski sulit bagi lidah orang luar Makassar melafal nama Lantiq yang artinya penyambung, pemersatu, atau lebih kerennya lagi “fasilitator”. Bagi rekan-rekannya yang sulit mengingat nama daengnya itu, ia tidak keberatan dipanggilan “Daeng Yus”.

“Dulu saya berpikir, penggunaan paddaengang ini bikin susah saja dan erat kaitannya dengan identitas kelas di dalam masyarakat Makassar. Kalangan bangsawan sangat mengagungkan gelaran seperti ini, termasuk keluarga saya. Nama paddaengang pertama saya adalah Daeng Sunggu, tapi saya protes dan merasa kurang cocok, apalagi ada juga tetangga bernama Daeng Sunggu yang perangainya kurang disuka warga lain. Saya ogah menggunakan nama itu. Sewaktu kuliah juga saya enggan menggunakan nama daeng saya, kesannya kuno… Tapi sekarang, saya malah bangga memperkenalkan diri sebagai Daeng Lantiq.. kedengarannya unik, dan ciri khas Makassarnya kuat. Bagi yang sulit mengucapkannya, saya bahkan mengusulkan memanggil saya DELLA, singkatan Daeng Lantiq, lebih gaya lagi kan?”

Di luar Sulsel, banyak orang Bugis-Makassar yang juga memelihara nama paddaengang atau bahkan menyematkan gelar “daeng” di depan nama mereka sebagai identitas. Menurut citizen reporter Ismail S. Wekke di Kuala Lumpur, kata “daeng” sangat populer digunakan baik di Pekanbaru, Singapura dan Malaysia.

“Saya bertemu Daeng Ayyub di Pekanbaru pada awal bulan Mei. Kemudian ada yang pakai nama Daeng Mappisammeng di Malaysia yang baru-baru ini diwisuda di Universiti Kebanggsaan Malaysia (UKM) dan saudara kita di Malaysia yang berketurunan Bugis sangat gembira jika dipanggil dengan gelaran daeng-nya. Saya kenal Daeng Gassing di kawasan Bandar Baru Bangi, Kuala Lumpur. Di Singapura, beberapa orang Bugis yang saya temui selalu memperkenalkan nama paddaengannya kalau dia sudah tahu saya ini orang Bugis.”

Katanya, di tanah rantau di negeri jiran ini, sesama orang Bugis (semua orang yang dari tanah Sulawesi Selatan disebut Bugis walaupun suku Makassar) lebih senang saling memanggil dengan nama paddaengang atau menyapa dengan kata “daeng” di depan nama masing-masing.

Karena gelar daeng ini diambil dari bahasa Makassar, tentu ada catatan khusus agar berhati-hati menggunakannya di daerah lain. Ambil contoh Daeng Maling. Dalam bahasa Makassar, Maling artinya "orang yang peduli". Tapi harus lihat-lihat situasi juga menyerukan nama ini di daerah lain. Bila meneriakkan nama ini di Jakarta, bisa-bisa barabe kena gebuk … (disalin dari panyingkul.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harap Komentar yang sopan sesuai etika berkomunikasi