Bisnis Dahsyat tanpa modal
readbud - get paid to read and rate articles

11/30/2009

Quo Vadis Skandal Dana Talangan Bank Century?

Kasus dana talangan (bail out) Bank Century sebesar Rp 6,7 trilyun memasuki babak baru setelah DPR akan menggunakan hak angket untuk menyelidiki skandal tersebut. Rencananya DPR akan melakukan sidang paripurna guna membahas penggunaan hak angket pada 1 Desember 2009 mendatang. Hak angket adalah hak bagi para legislator di parlemen untuk melakukan penyelidikan atas suatu kasus yang menjadi perhatian publik.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan tidak ada unsur pidana dalam pengucuran dana talangan senilai Rp 6,7 trilyun. Landasan hukum yang digunakan Kejagung sebagai payung hukum adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan.
Dana talangan tersebut dikucurkan oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) kepada Bank Century yang kini sudah berganti nama menjadi Bank Mutiara dengan alasan bahwa saat itu dinyatakan bank gagal dan berpotensi sistemik. Kriteria berdampak sistemik dalam perbankan bila bank tersebut berdampak sangat besar yang dapat berpengaruh pada sistem pembayaran nasional, lembaga perbankan lain akan terimbas dampaknya, dan stabilitas pasar uang terganggu. Penyelamatan dilakukan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Dalam KKSK beranggotakan Gubernur BI saat itu Boediono dan Rudjito (Ketua Dewan Komisioner LPS).
Dana yang digunakan dalam program penyelamatan Bank Century berasal dari LPS. Menurut UU LPS, dana LPS berasal dari premi atas simpanan yang dihimpun dari setiap bank peserta penjaminan. Sejak tahun 2005, LPS memiliki kekayaan sendiri yang berasal dari premi tersebut. Namun saat terbentuknya, modal awal LPS berasal dari dana rakyat sebesar Rp 4 triliun.
Dana talangan mulai dikucurkan pada 23 November 2208 sebesar Rp 2,77 triliun dan 5 Desember 2008 sebesar Rp 2,20 triliun. Setelah dua kali pengucuran, DPR melalui Komisi XI menolak Perppu No 4/2008 pada 18 Desember 2008 dan dibawa ke dalam sidang paripurna DPR pada 19 Desember 2008. Meski DPR menolak pengucuran dana talangan dengan penolakan terhadap Perppu No 4/2008, LPS tetap mengucurkan dana talangan sebesar Rp 1,15 triliun pada 3 Februari 2009 dan Rp 630 miliar pada 21 Juli 2009.
Sementara Bank Century hanya bank kecil dengan asset sekitar Rp 15 triliun atau 0,72 persen dari keseluruhan perbankan nasional kala itu, hanya punya 7 kantor cabang, jumlah nasabah hanya 65 ribu orang dan dana masyarakat yang dikelola hanya sebesar Rp 10 triliun sehingga lebih layak untuk ditutup. Per Juli 2009, total aset Bank Century mencapai Rp 6,882 triliun lebih tinggi daripada posisi akhir Desember 2008 sebesar Rp 5,586 triliun. DPR sendiri hanya menyetujui biaya penyelamatan hanya sebesar Rp 1,3 trilyun, namun kenyataannya biaya yang dikucurkan oleh LPS sebesar Rp 6,7 trilyun, hampir sama besarnya dengan biaya penanggulangan gempa Sumatera Barat sebesar Rp 5 trilyun.
Sebuah media menginformasikan bahwa pernah terjadi perselisihan paham para pejabat Bank Indonesia terkait kasus Bank Century pada sebuah rapat pada 20-21 November 2008. Ketika itu Deputi Gubernur BI, Siti Fadjrijah pernah meminta agar Bank Century ditutup dan dilikuidasi, namun Boediono menolaknya dan mengusulkan agar di bail out saja. Selain itu Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia pada 18 November 2008 mengubah persyaratan pembiayaan darurat. Sebelumnya berlaku aturan bahwa fasilitas pembiayaan darurat hanya pada bank yang memiliki CAR 8%, namun diubahnya dengan mengeluarkan PBI No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) yang diantaranya menurunkan persyaratan CAR 5% bagi perbankan yang ingin menggunakan fasilitas FPD, sama dengan CAR Bank Century 5%. Fakta tersebut mengindikasikan ada motif politik kekuasaan dalam pengucuran dana talangan, apalagi momentum politik kala itu menjelang pemilihan presiden.
Potensi kerugian negara atas skandal dana talangan Bank Century sebesar Rp 4,72 triliun dengan cara menghitung perkiraan nilai saham pada saat bank harus di divestasi tahun 2011 dengan posisi jumlah dana yang sudah dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan Rp 6,762 triliun. Pemerintah dan BI ditempatkan dalam posisi yang harus bertanggung jawab karena mereka dulu yang memutuskan melakukan penyelamatan Bank Century. Selain pembengkakan dana bail out dan transparansi aliran dana, masyarakat juga mempersoalkan aspek legalitas dari penyelamatan bank tersebut.
Bencana Kapitalisme
Naomi Klein dalam bukunya “The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism” menyebutkan bahwa bencana kapitalisme telah melanda negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan munculnya skandal Bank Century, menambah bukti bencana kapitalisme akan semakin massif sebagai dampak langsung dari idiologi kapitalisme neoliberal dianut para pemimpin negara.
Sebagai sebuah negara demokrasi dengan sistem pemilihan presiden langsung, memungkinkan banyak pihak untuk ikut menjadi penyumbang dana untuk keperluan kampanye pemilihan presiden kandidat tertentu. Dalam konteks tersebut, diduga penyelamatan Bank Century untuk melindungi para nasabah besar atau pemilik bank tersebut yang menjadi penyumbang partai politik atau tim sukses capres tertentu. Dugaan tersebut semakin menguat karena presiden SBY sangat terlambat memberi respon sehingga terkesan membiarkan hal tersebut terjadi. Padahal tindakan pembiaran sebuah kejahatan terjadi merupakan tindakan kriminal (crime by omission). Seperti diberitakan media bahwa Presiden SBY sudah menerima laporan dari Menteri Keuangan mengenai kondisi Bank Century pada 13 November 2008 ketika mengikuti pertemuan G-20 di Washinton, Amerika Serikat.
Data yang beredar di komunitas perbankan adalah para deposan besar Bank Century seperti Hartati Murdaya dan Budi Sampoerna (adik Putra Sampoerna). Sebuah sumber yang tidak dapat dikonfirmasi menyebutkan bahwa Sampoerna memiliki dana penempatan sebesar Rp 1.895 miliar per November 2008, sedangkan Hartati Murdaya sekitar Rp 321. Keduanya dikenal adalah penyumbang kampanye SBY ketika menjadi calon presiden untuk periode kedua berpasangan dengan Boediono, mantan Gubernur BI yang berhasil menyelamatkan krisis Bank Century. Sampoerna pula telah mendanai penerbitan salah satu koran nasional yang menjadi corong SBY beberapa tahun sebelumnya, sedangkan Hartati Murdaya adalah host tetap yang menjadi langganan SBY di Kemayoran.
Dugaan skenario lainnya adalah Hartati Murdaya dan Budi Sampoerna bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Bank Century sehingga mendapatkan ganti rugi. Dana ganti rugi tersebut bisa saja digunakan biaya kampanye partai atau kandidat presiden tertentu. Hartati sering disebut media adalah Bendahara Partai Demokrat sedang bendahara tim sukses SBY adalah Eddy Baskoro. Agar modus penggerogotan uang negara berjalan rapi maka dilibatkan orang yang berlatar belakang perbankan seperti Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri) yang merekomendasikan bawahannya bernama Sumaryoto untuk memimpin Bank Century ketika dana talangan mengalir ke dalam Bank Century.
Ketika Budi Sampoerno mulai mencairkan uangnya tahap pertama sebesar US$ 18 juta atau sekitar 180 milyar dari Bank Century, tersangkut juga Susno Duadji, Kabareskim Mabes Polri saat itu. Susno dikabarkan mendapatkan uang sebesar Rp 10 milyar dari Budi Sampoerno sebagai bagian dari hasil penjarahan dana talangan Bank Century untuk para perwira Polri. Para perwira polri itu terlanjur mengetahui modus operandi pembobolan uang negara melalui Bank Century dari lingkaran dalam Istana Presiden.
Sebagai sebuah isu politik, kabar tersebut bisa saja benar bisa pula sebaliknya. Dengan terbentuknya Pansus Hak Angket DPR untuk melakukan penyelidikan, maka diharapkan semua kabar dan spekulasi pemberitaan dapat mengungkap kebenaran yang hakiki seputar dana talangan Bank Century yang telah mencederai rasa keadilan masyarakat.
(Artikel ini dimuat Harian Fajar, Senin, 30 November 2009. Penulis, Muslimin B. Putra, Analis Politik dan Kebijakan Publik pada CEPSIS, Makassar)